Laman

Jumat, 05 November 2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan Mangrove di Gorontalo Utara memiliki kisaran variasi faktor fisik dan kimia yang berbeda hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh factor lingkungan yang berbeda di setiap wilayah dan banyak terdapat beberapa jenis hewan salah satunya Pelecypoda yang hidup sekitaran kawasan hutan mangrove.
Hasil observasi menunjukkan bahwa kondisi hutan mangrove yang terdapat di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara mengalami degradasi akibat aktifitas yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tambak, kayunya diambil sebagai bahan bakar dan bangunan sehingga menimbulkan terjadinya perubahan pada ekosistem mangrove. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi hutan mangrove dan mengakibatkan terancamnya kehidupan berbagai keanekaragaman flora dan fauna yang mendiami kawasan hutan mangrove, Keadaan ini juga berpengaruh besar pada pengurangan fungsi hutan mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran biota akuatik. Pengurangan fungsi ini pada gilirannya akan berpengaruh pada pengurangan jumlah jenis dan populasi biota penghuni hutan mangrove, diantaranya adalah Pelecypoda.
Pelecypoda merupakan sumber hayati laut yang mempunyai nilai ekonomi penting dan memiliki keanekaragaman tinggi. Oleh karena itu tingkat eksploitasi dewasa ini terus meningkat, sehingga dari segi ekologis bentuk eksploitasi ini dapat mengancam kelestarian populasi pelecypoda.
Keanekaragaman pelecypoda belum banyak diketahui (belum diteliti), namun wilayah penyebarannya sangat luas karena hampir semua perairan laut Indonesia yang ditumbuhi hutan mangrove memiliki beragam jenis pelecypoda (Dahuri, 2003).
Secara ekologis, jenis pelecypoda penghuni kawasan hutan mangrove memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan hutan mangrove, karena di samping sebagai pemangsa detritius, pelecypoda berperan dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik yang bersifat herbivor dan detrivor.
Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu wilayah yang produktifitasnya tinggi karena ada serasah dan terjadi dekomposisi serasah sehingga terdapat detritus. Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya antara lain adalah pelecypoda.
Kehadiran pelecypoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove yang ada di daerah pesisir. Kelimpahan dan distribusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat, ketersediaan makanan, pemangsaan dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis.
Jumlah jenis dalam suatu komunitas sangat penting dari segi ekologi karena keanekaragaman jenis tampaknya bertambah bila komunitas menjadi semakin stabil. Namun apabila pertumbuhan komunitas terganggu akan menyebabkan penurunan yang nyata dalam keanekaragaman. Keanekaragaman yang besar mencirikan ketersediaan dalam jumlah yang besar (Michael dalam Darojah, 2005).
Menurut Krebs (1989), keanekaragaman jenis yang paling sederhana adalah menghitung jumlah jenis (kekayaan jenis). Keanekaragaman jenis adalah gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dalam komunitas (Desmukh, 1992). Pengertian lain keanekaragaman jenis adalah sebagai suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya (Soegianto, 1994) sehingga apabila terjadi penurunan kualitas maupun kuantitas mangrove maka akan berpengaruh terhadap keanekaragaman pelecypoda yang hidup di hutan mangrove karena hal ini telah memepunyai hubungan yang erat terhadap rantai makanan. Hubungan kerusakan mangrove dengan penurunan keanekaragaman merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu.
Di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang terdapat hutan mangrove dengan Luas ± 15 Ha. Secara tidak langsung telah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang peranan hutan mangrove baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya luas dan komunitas hutan mangrove di Desa Bulalo yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat dengan mengeksploitasi hutan untuk dijadikan lahan pertambakan serta pemanfaatan pohon dari jenis mangrove sebagai bahan bakar atau perabot rumah tangga sehingga terjadi kerusakan terhadap hutan mangrove tersebut.
Kerusakan hutan mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis Pelecypoda yang menghuni hutan mangrove tersebut, hal ini belum banyak diketahui secara pasti untuk itu maka perlu diadakan peninjauan atau penelitian secara langsung untuk mendapatkan informasi tentang hubungan kerusakan mangrove dengan tingkat keanekaragaman Pelecypoda yang memiliki peranan sangat penting terhadap ekosistem mangrove.
Mengingat pentingnya peranan Pelecypoda pada ekosistem mangrove dengan keanekaragaman yang bervariasi, dan minimnya data atau informasi tentang jenis Pelecypoda terutama di kawasan hutan mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara maka diadakan penelitian ini dengan formulasi judul “Indeks Keraragaman Pelecypoda Di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”.


1.2 Identifikasi Masalah
Adapun yang menjadi identifikasi masalah adalah :
1) Bagaimanakah Keanekaragaman Jenis Pelecypoda di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara
2) Bagaimanakah Kelimpahan Pelecypodadi Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara
3) Bagaimanakah dominansi Pelecypodadi Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara


1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat keanekaragaman jenis Pelecypoda di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Keanekaragaman Pelecypoda di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan dasar tentang Mollusca dalam hal ini adalah Pelecypoda.
2. Adanya data ilmiah tentang keanekaragaman jenis Pelecypoda yang terdapat di hutan mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
3. Sebagai sumber informasi tentang hubungan kerusakan mangrove dengan keanekaragaman Pelecypoda.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Tentang Pelecypoda
1. Morphologi Pelecypoda (Bivalvia)
Bivalvia atau lebih dikenal dengan kerang, mempunyai dua keping atau belahan yaitu belahan sebelah kanan dan kiri yang disatukan oleh suatu engsel bersifat elastis disebut ligamen dan mempunyai satu atau dua otot adductor dalam cangkangnya yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan cangkang tersebut. Untuk membedakan belahan kanan dan balahan kiri cangkang terkadang mengalami kesulitan, hal ini biasa terjadi pada bivalvia yang hidup menempel pada benda keras misalnya pada karang, karena pertumbuhan bivalvia ini mengikuti bentuk dari permukaan karang tersebut sehingga bentuknya tidak wajar (Barnes, 1987).
Bivalvia tidak memiliki kepala, mata serta radula di dalam tubuhnya, tubuh bivalvia hanya terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu kaki, mantel, dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan antara dua cangkang tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak dan merayap (Robert et al, dalam Safikri 2008).
2. Habitat Pelecypoda (Bivalvia)
Menurut Kastoro (1988) ditinjau dari cara hidupnya, jenis-jenis Bivalvia mempunyai habitat yang berlainan walaupun mereka termasuk dalam satu suku dan hidup dalam satu ekosistem. Bivalvia pada umumnya hidup membenamkan dirinya dalam pasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis diantaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan semacam serabut yang dinamakan byssus. Nontji (1993), menyatakan bahwa “bivalvia hidup menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri di dalam pasir atau lumpur adapula yang menempel di pohon bahkan pada karang-karang batu”. Pada beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken, 1992).
Odum (1993), menyatakan bahwa binatang infauna seringkali memberikan reaksi yang mencolok terhadap ukuran butir atau tekstur dasar laut, sehingga habitat Molusca dari berbagai lereng pasir lumpur akan berbeda.
3. Taksonomi Pelecypoda
Susunan Taksonomi berikut adalah berdasarkan klasifikasi Newel (1965) dalam Anonim (2010) yang didasarkan pada morfologi.
- Subkelas Palaeotaxodonta
- Ordo Nuculoida
- Subkelas Cryptodonta
- Praecardioida
- Solemyoida
- Subkelas Pteriomorphia (tiram, kupang, dll,)
- Arcoida
- Cyrtodontoida
- Mytiloida
- Ostreoida semula termasuk Pterioida
- Praecardioida
- Pterioida
- Subkelas Paleoheterodonta
- Trigonioida
- Unionoida (jenis-jenis kupang air tawar)
- Modiomorpha
- Subkelas Heterodonta (mencakup remis, lokan, dan kerang-kerang yang biasa dikenal, Eulamellibranchia)
- Cycloconchidae
- Hippuritoida
- Lyrodesmatidae
- Myoida
- Redoniidae
- Veneroida
- Subkelas Anomalodesmata
- Pholadomyoida
4. Jenis-Jenis Pelecypoda Hutan Mangrove
Jenis Pelecypoda yang hidup di perairan hutan mangrove ditandai oleh besarnya kandungan bahan organik, perubahan salinitas yang besar dan kadar oksigen yang terkandung. Beberapa jenis Pelecypoda yang hidup di hutan mangrove antara lain, Oatrea sp, Gilonia coxan, Perna viridis, Corbicula fluminea, Arctica islandica, Ostreidae dan beberapa jenis lainnya yang banyak terdapat di garis surut terendah, salah satunya adalah Tridacna gigas. (Sitorus 2008)
5. Kebiasaan Makan
Nybakken (1992), “menyatakan berdasarkan pada makanan dan kebiasaan makannya, jenis-jenis bivalvia dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu pemakan suspensi dan pemakan endapan”. Bivalvia umumnya memperoleh makanan dengan cara menyaring partikel-partikel yang ada dalam air laut (Nontji, 1993).
Pada golongan pemakan endapan, bivalvia ini membenamkan diri dalam lumpur atau pasir yang mengandung sisa-sisa zat organik dan fitoplankton yang hidup di dasar. Makanan tersebut dihisap dari dasar perairan melalui siphon. Semakin dalam bivalvia membenamkan diri siphonnya semakin panjang. Nontji, 1993).

2.2 Peranan Pelecypoda (Bivalvia)
Secara ekologis, jenis Pelecypoda penghuni kawasan hutan mangrove memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan hutan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa detritus, pelecypoda berperan dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik yang bersifat herbivor dan detrivor.
Selain berperan sebagai rantai makanan terhadap ekosistem mangrove Pelecypoda di jadikan makanan, cangkok Pelecypoda bisa dimanfaatkan untuk membuat hiasan dinding, perhiasan wanita, atau dibuat kancing. Ada pula yang suka mengumpulkan berbagai macam cangkang Pelecypoda untuk koleksi atau perhiasan.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat yang terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai yang mana airnya melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu (Anonim, 2010).
Lumpur adalah habitat utama hutan mangrove yang terletak di daerah pesisir dan merupakan ekosistem yang mempunyai kekayaan berbagai macam hewan serta saling berinteraksi antara haibtat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung sehingga berdampak merugikan terhadap ekosistem mangrove.
Ekosistem hutan Mangrove bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi (Anonim, 2010).
Di Gorontalo Utara khususnya Kecamatan Kwandang Desa Bulalo terdapat ekosistem mangrove yang di dalamnya terdapat berbagai macam jenis hewan, mulai dari hewan-hewan vertebrata seperti berbagai jenis ikan, burung, hewan amphibia dan ular sampai berbagai jenis hewan invertebrata seperti insecta, crustacea (udang-udangan), moluska (siput, keong, dll), dan hewan invertebrata lainnya seperti cacing, anemon dan koral. Namun yang menjadi obyek pada penelitian kali ini adalah salah satu hewan dari kelas Moluska yaitu Pelecypoda.

2.4 Faktor-Faktor Fisik
1. Suhu
Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk memepelajari gejala-gejala fisik dalam komunitas hutan mangrove serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan (Nontji, 1993). Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi bentos seperti pelecypoda (Odum, 1993), suhu yang terdapat di kawasan Hutan mangrove berkisar antara 26-29 0C. (Bahri, 2008).
2. Salinitas
Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman. Irwanto (2006) menyatakan ”Pada bagian dalam terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara sungai memiliki salinitas yang tidak begitu tinggi dibandingkan dengan bagian luar hutan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka”.
Pola Gradien salinitas tergantung pada musim, topografis, pasang surut, dan jumlah air tawar yang masuk (Nybakken, 1992). Menurut Romimohtarto (2006) variasi salinitas hutan mangrove mengalami estuari di Indonesia berkisar antara 15–40 ppt dan bivalvia yang terdapat di hutan mangrove bisa bertahan hidup berkisar antara 15-32 ppt. Data yang di peroleh dari hasil penelitian sebelumnya tentang Pola Zonasi Mangrove, salinitas yang terkandung pada hutan mangrove Desa Bulalo Kecamtan Kwandang berkisar antara 15-30 ppt, (Bahri, 2010) sehingga hal ini memungkinkan pelecypoda untuk hidup.
3. pH
pH sangat pentiung sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan bahan air. Selain itu makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang antara 7 – 8.5, dengan diketahuinya nilai maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka. Besar pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basah/ alkalis). Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam, nilai di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin). Dan pH = 7 disebut sebagai netral. Menurut Wijaya dalam Sitorus (2008) adanya penambahan kadar organik kedalam perairan akan menurunkan nilai air pH yang disebabkan penguraian bahan organik tersebut menghasilkan CO2. pH air yang terkandung pada Hutan mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Berkisar antara 7-8 (Bahri, 2008).



2.5 Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah di dalam komunitas yang terkendali secara fisik maupun biologis serta pada ekosistem yang mengalami gangguan (Krebs, 1989). Magurran (dalam Rudi, 2002) menyatakan bahwa “Keanekaragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas dalam organisasi kehidupan”.
Menurut Primack (1998), keanekaragaman jenis menunjuk seluruh jenis pada ekosistem, sementara Desmukh (1992) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis sebagai jumlah jenis dan jumlah individu dalam satu komunitas. Jadi keanekaragaman jenis adalah menunjuk pada jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenis.
Odum (1993) menyatakan bahwa “ada dua komponen keanekaragaman jenis yaitu kekayaan jenis dan kesamarataan”. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Kekayaan jenis dapat dihitung dengan indeks jenis atau area yakni jumlah jenis per satuan area. Kesamarataan atau akuitabilitas adalah pembagian individu yang merata diantara jenis. Namun pada kenyataan setiap jenis itu mempunyai jumlah individu yang tidak sama. Satu jenis dapat diwakili oleh 100 hewan, yang lain oleh 10 hewan dan yang lainnya pula diwakili oleh 1 hewan. Kesamarataan menjadi maksimum bila semua jenis mempunyai jumlah individu yang sama atau rata. Cara sederhana mengukur keanekaragaman jenis adalah menghitung jumlah jenis atau spesies (Soegianto, 1994).
Pelecypoda tidak hanya menunjukkan keanekaragam jumlah jenis, tetapi memiliki keanekaragaman bentuk, ukuran, struktur, tingkatan tropik dan keanekaragaman makro-mikro habitat dalam komunitas alami. Keanekaragaman morfologi kerang laut menggambarkan tingkah laku yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelulusan spesies tersebut dalam ekosistemnya. Secara makro, keanekaragaman spesies kerang berkurang dari pantai tropika ke temperate dan dari pantai makrotidal ke mikrotidal Defeo dalam Nurdin (2008).
Keragaman jenis menggambarkan kekayaan spesies. Untuk mengkaji keragaman jenis digunakan indeks keragaman (diversitas). Indeks diversitas dikembangkan untuk menggambarkan terjadinya perubahan struktur habitat sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas ekosistem, Mangrove. Indeks diversitas yang umum digunakan adalah indeks diversitas Shanon – Wiener dengan rumus.
H = - Σ ni / N Ln ni / N atau H = -pi Ln pi

Pada suatu komunitas sering dijumpai spesies dominan. Spesies dominan menyebabkan keragaman jenis rendah. Keragaman jenis rendah, jika hanya terdapat beberapa jenis yang melimpah, dan sebaliknya suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi (Odum 1993). Untuk mengkaji spesies yang mungkin mendominasi dalam komunitas Pelecypoda digunakan indeks dominasi Simpson (C). Indeks dominasi dapat digunakan untuk menentukan spesies indikator dengan rumus.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan, mulai dari tahap persiapan sampai penyusunan laporan akhir penelitian dari bulan November sampai Desember 2010.

3.2 Obyek Penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah Pelecypoda di Kawasan Hutan Mangrove Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Line Transek dengan pendekatan deskripitif. Karena Wilayah Penelitian (Kawasan Hutan Mangrove yang terdapat di Desa Bulalo Kec. Kwandang) ini memiliki luas 200 Ha, sebagian telah terjadi degradasi akibat pemanfaatan lain dalam hal ini digunakan sebagai tambak, maka untuk pengambilan sampel dibuat 2 stasiun pengamatan, stasiun pertama dibuat pada daerah yang sudah terdapat tambak dan stasiun kedua dibuat pada daerah yang tidak terdapat tambak dengan masing-masing stasiun terdiri dari 2 transek dan masing-masing transek terdiri dari 5 plot pengamatan. Panjang line transek ±150 m yang terbagi dalam 5 plot dengan ukuran plot masing-masing 20 x 20 m.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat
1. Kamera digunakan untuk mengambil gambar Pelecypoda sebagai bukti penelitian yang ditemukan
2. Rol Meter digunakan untuk mengukur panjang transek.
3. Thermometer berfungsi untuk mengukur suhu lingkungan
4. Toples sebagai tempat mengawetkan sampel
5. Wadah Spesimen digunkan untuk tempat meletakan spesimen yang ditemukan
6. pH meter digunakan untuk mengukur pH (derajat keasaman)
7. Salinometer digunakan untuk mengukur salinitas
8. Tali digunakan untuk membuat garis transek

3.4.2 Bahan
1. Formalin 4%
2. Aquades
3. Alkohol 70%
4. Tissu/kertas, digunakan sebagai pembersih

3.5 Prosedur Kerja
1. Observasi
Bertujuan untuk mengamati langsung obyek yang diteliti dalam situasi yang sebenarnya.
2. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengambilan data adalah sebagai berikut:
a. Menentukan titik masing-masing wilayah yang menjadi sampel penelitian
b. Membuat jalur transek sepanjang ±150 meter dengan menggunakan tali yang sudah diukur dengan role meter dengan ukuran plot 20 x 20 m dan jarak antar plot 10 m.
c. Mengukur suhu
d. Mengukur pH.
e. Mengukur Salinitas.
f. Mengukur Intensitas.
g. Mengukur kelembaban
h. Mengambil data mengenai Pelecypoda dengan mekanismenya yaitu:
- Mengambil data hewan yang termasuk Pelecypoda pada setiap plot dan menghitung jumlah individu setiap jenisnya.
- Memasukkan sampel ke dalam toples berisi formalin 4%, hewan yang diisi hanya untuk identifikasi yang lainnya dilepas kembali, serta memberi label pada toples tersebut dengan kertas label.
i. Dokumentasi jenis Pelecypoda dalam bentuk foto.
j. Studi pustaka untuk mengidentifikasi jenis dengan acuan buku-buku tentang identifikasi mollusca kelas Pelecypoda dengan kunci determinasi.
Desain Sampling






3.6 Analisi Data
3.6.1 Untuk mengetahui indeks keanekaragaman jenis, maka digunakan rumus indeks diversitas dari Shannon-Winner (Odum:1993)
H = - Σ ni / N Log ni / N atau
H = -pi Log pi
Keterangan :
ni = nilai kepentingan tiap jenis (jumlah individu tiap jenis)
N = nilai kepentingan total (jumlah total semua individu)
Pi = Peluang kepentingan untuk tiap jenis (ni/ N)
Setelah diperoleh indeks keanekaragaman dikelompokkan kedalam kriteria tinggi, sedang dan rendah. Menurut Hardjosuwarno dalam (Aji Esti 2006) Kriteria tingkat Keanekaragaman yaitu :
(H) > 3,0 = Menunjukan Keanekaragaman sangat tinggi
(H) 1,6 – 3,0= Menunjukan Keanekaragaman tinggi
(H ) 1,0 – 1,5= Menunjukan Keanekaragaman sedang
(H ) < 1,0 = Menunjukan Keanekaragaman rendah

DAFTAR PUSTAKA


Aji Esti, Handayani. 2006 Keanekaragaman Jenis Pelecypoda di Pantai Randusanga Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Skripsi. Tidak dipublikasikan

Anonim, 2009. Peranan Molusca http://www.e-dukasi. net/mol/mo_full. php? moid=78&fname=bio1 11_40.htm di Akses Tanggal 28 Februari 2009

▬▬▬, 2010. Hutan Bakau http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau. di akses 18 Oktober 2010

▬▬▬, 2010. Sitematika Bivalvia http://id.wikipedia.org/wiki/Bivalvia Di akses 13 oktober 2010

Bahri, Syamsul. 2008. Komposisi dan Pola Zonasi Vegetasi Hutan Mangrove. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo

Barnes, Robert. 1987. Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College Publishing. Pp:344-377. (Online) tersedia. http// www. Geogle.com. diakses 14 Oktober 2010

Dahuri, Rokhmin, MS. 2003 Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Darojah, Yuyun, 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Jurnal. Universitas Negeri Semarang

Desmukh, 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. (Online) tersedia. www.irwantoshut.com diakses 23 Oktober 2010.

Kastoro, Widiarsih. 1988. Work Shop Budidaya Laut : Budidaya jenis-jenis Kerang (bivalvia). Puslitbang Oceanografi LIPI. Jakarta.

Krebs, 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. New York. (online) tersedia www. Krebs-ecological-methodology diakses 24 Juni 2010.

Nontji, Anugerah. 1993. Laut Nusantara. Djambatan :Jakarta.

Nybakken, 1992. Biologi laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.

Odum, 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Primack, Supriatna Dkk, 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Romimohtarto, 2006. Kwalitas Air Dalam Budidaya Laut (Online). Tersedia: http:/www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E13 htm. Di akses: 12 Februari 2010.

Rudi, 2002. pH Organisme Pantai Berbatu (Online). Tersedia. http// www. Geogle.com.

Safikri Dedi. 2008, Studi Struktur Komunitas Bivalvia dan Gastropoda di Perairan Muara Sungai Kerian dan Sungai Simbat Kec. Kaliwungu Kab. Kab Kendal. Jurnal. Universitas Diponegoro

Sitorus Dermawan. 2008, Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia di Periran Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Jurnal. Universitas Sumatera Utara. Medan

Soegianto, 1994. Ekologi Kuantitatif Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Surabaya: Usaha Nasional.